Kontroversi RUU-KUHP Yang Disahkan DPR Apa Masih Berlanjut, Kita Mau Melaju

0
Views: 111

Jakarta, TirtaNews – Prestasi yang dicapai bangsa Indonesia dalam menyusun RUU-KUHP yang baru saja disahkan DPR sudah seharusnya mendapat apresiasi masyarakat dari berbagai kalangan di Republik ini, karena para panitia yang merancang dan menyusun RUU-KUHP tersebut telah berhasil melewati perdebatan panjang soal rencana pembaharuan KUHP. Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU-KUHP) yang pada awalnya mendapat respon pro dan kontra dari tokoh-tokoh masyarakat, pada akhirnya telah disepakati bersama oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang, pada hari ini, Selasa 6 Desember 2022, melalui rapat paripurna.

Dengan semangat pembaharuan Hukum Pidana dan sistem pemidanaan modern yang mengusung keadilan korektif, keadilan rehabilitatif dan keadilan restoratif, yang menurut team sosialisasi RUUKUHP ini sebagai respon terhadap asas legalitas terhadap implementasi selama ini yang diterapkan secara kaku, RUUKUHP yang telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang ini, telah menjadi jalan tengah dan terobosan baru untuk merajut Kebhinekaan Indonesia yang multi agama, multi etnis dan multi kultural.

Ada hal yang menarik dari RUUKUHP yang sudah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang ini, yakni yang pada awalnya RKUHP ini dianggap akan melegalkan Perzinahan dan LGBT, namun pada kenyataannya tidaklah sepenuhnya demikian. Perzinahan dan LGBT tetaplah bisa dianggap sebagai tindak pidana, selama perbuatan itu telah memenuhi unsur-unsur tertentu, yang di antaranya adalah adanya unsur pemaksaan, unsur kekerasan, unsur publikasi (misal dilakukan secara terbuka atau di muka umum) dll. Sanksi Pidana juga tidak bisa dihukum sampai 15 tahun seperti banyak hoax yang berseliweran di medsos selama ini.

Perzinahan tergolong sebagai delik aduan, dimana pelaku baru dapat diproses hukum apabila ada aduan dari pihak yang dirugikan, seperti suami/istri bagi yang terikat perkawinan atau orang tua/anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. _Dan aduan atau pelaporan ini bisa ditarik kembali sebelum proses perkara di pengadilan belum dimulai. Ini artinya bahwa tidak sembarang orang, misalnya Hansip, Satpam, Office Boy atau para pegawai hotel, pegawai desa/kelurahan bisa sembarangan melaporkan orang yang melakukan perzinahan. Pelaku perzinahan dihukum penjara paling lama 1 tahun atau dikenai hukuman pidana denda kategori II. (Pasal 411 ayat (1) RUUKUHP).

Sedangkan untuk perbuatan yang dikategorikan sebagai kasus LGBT, menurut interpretasi kami memang sudah dimasukkan dalam Pasal Percabulan yang berpatokan pada UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Di pasal ini, meskipun tidak disebut LGBT secara tegas, namun unsur-unsur yang sama dengan perbuatan yang berkategori LGBT ini masuknya di ranah privat, dimana selama tidak ada unsur kejahatan pemaksaan, kekerasan atau ancaman kekerasan dan dilakukan di muka umum atau dipublikasikan, maka pelakunya tidak bisa dipidana. Namun jika percabulan ini dilakukan dengan pemaksaan, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipublikasikan dll. ini bisa dipidana penjara maksimal 9 tahun. Jadi perkawinan sesama jenis yang biasa dilakukan oleh Kaum Gay maupun Lesbian (LGBT) di negara-negara sebrang lautan sana, tidaklah mungkin dapat disahkan di negeri yang menganut Demokrasi Pancasila ini.

RKUHP yang terbaru ini menurut keterangan yang dikutip awak media akan diberlakukan tiga tahun kemudian setelah resmi disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang, dan menurut team sosialisasi RUKUHP tersebut di dalamnya sudah termaktub hal-hal yang mengatur pembaharuan hukum, antara lain alternatif sanksi pidana selain penjara yaitu pidana denda, kerja sosial dan pengawasan, kemudian tujuan dan pedoman pemidanaan, pergeseran paradigma dalam pidana dan pemidanaan untuk penjatuhan sanksi pidana yang lebih humanis dan bermartabat, serta pema’afan/pengampunan hakim (judicial pardon).

Atas dasar itulah, RUUKUHP mengatur keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan, antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia, antara tindak pidana dan sikap batin pelaku, yang semuanya harus selaras dengan ideologi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD 1945.

Keseimbangan itu sekaligus memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berdemokrasi dan juga ruang privat masyarakat. Meski demikian, kebebasan tersebut juga diwujudkan secara bertanggung jawab, menghormati nilai-nilai keindonesiaan, dan juga menghormati hak asasi orang lain. Begitulah kira-kira kesimpulan yang dapat diambil dari RUUKUHP terbaru ini untuk dijadikan sebagai pedoman kita bersama dan wajib disosialisasikan kepada seluruh elemen masyarakat di negara Republik indonesia.

Alhamdulillah, kita sudah tidak lagi menjadikan KUHP warisan Kolonial Belanda dan para penjajah negeri lainnya sebagai rujukan untuk mengadili setiap pelaku kriminal baik warga negara kita maupun warga negera asing yang berbuat kriminal di negara Republik ini. Dengan kata lain setiap warga masyarakat harus taat kepada hukum pidana terbaru yang berlaku saat ini. Inilah hasil kerja keras putra-putri bangsa Indonesia yang harus kita apresiasi bersama. Justru dengan disahkannya RUUKUHP terbaru ini oleh Dewan Legislatif kita, semoga tidak ada lagi pelaku kriminal yang mengelak dari ancaman hukuman dengan dalih karena menggunakan KUHP warisan kolonial.(Teuku/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *