Serang, Ibukota yang Terlupakan

Oleh: DR. Ir. Eden Gunawan, MM., IPU., ASEAN-Eng ( Ketua Persatuan Urang Banten dan Ketua Orwil ICMI Provinsi Banten )
Hampir tiga dekade sudah Kota Serang menyandang status sebagai ibu kota Provinsi Banten. Sebuah predikat yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan bagi seluruh masyarakat Banten. Namun kenyataan yang kita saksikan hari ini sungguh jauh dari harapan. Kota Serang belum juga menunjukkan geliat sebagai kota yang layak huni, bahkan untuk memenuhi standar paling sederhana sekalipun.
Kita harus jujur mengakui—kota ini tertinggal, bahkan jika dibandingkan dengan kota-kota kecil lainnya di Indonesia. Potensi besar yang dimiliki Serang seolah tak berarti di tangan pengelolaan yang lemah. Sumber daya alam melimpah, posisi strategis, sejarah panjang, budaya yang kaya—namun tak satu pun dimaksimalkan dengan sungguh-sungguh.
Permasalahan paling mendasar seperti pengelolaan sampah pun tak kunjung diselesaikan. Dari lingkungan RT, RW, hingga ke tingkat kota dan provinsi, tak tampak kepedulian yang nyata. Sampah berserakan di mana-mana—di jalanan, sungai, pasar, got, dan saluran air. Bukan karena keterbatasan semata, tapi karena minimnya niat dan perhatian. Fasilitas pengelolaan tidak hanya kurang—tapi berada jauh di bawah standar minimum.
Pasar yang seharusnya menjadi pusat ekonomi rakyat tak pernah benar-benar bersih dan sehat. Transportasi kacau. Parkir semrawut. Tata ruang kota seperti berjalan tanpa arah, hanya menumpuk dokumen tanpa hasil nyata. Infrastruktur jalan dari tingkat provinsi hingga desa seakan saling bersaing dalam ketidaknyamanan—tak nyambung, rusak, dan membahayakan.
Kadang saya rindu masa lalu. Saat masih bisa mandi dan bermain di Kali Banten yang jernih. Saat bisa menikmati teri nasi dan layur segar dari nelayan Karangantu. Kini semua tinggal kenangan. Sungai kita penuh limbah, ikan pun entah ke mana. Apa ini harga dari “kemajuan”?
Kita sebagai manusia beriman seharusnya malu. Karena iman itu tak hanya soal ibadah, tapi juga kebersihan, kepedulian, dan tanggung jawab sosial. Ironisnya, semua program dan slogan pemerintah hanya menjadi acara seremonial. Penuh pencitraan, kosong pelaksanaan.
Padahal para pemimpin kita punya ilmu, punya kapasitas, punya sumber daya. Tapi mereka tak punya kemauan. Yang ada hanyalah pembiaran dan saling menyalahkan. Pemerintah abai, masyarakat pasrah, dunia usaha menepi. Siapa yang akhirnya paling menderita? Kita semua.
Sudah waktunya kita berhenti menunggu. Kita harus mulai dari diri sendiri. Dari hal-hal kecil. Dari sekarang. Kita perlu bekerja bersama, bergandengan tangan dalam semangat gotong royong—antara pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan media. Konsep pentahelix bukan hanya wacana, tapi harus menjadi gerakan nyata.
Kota ini milik kita. Jangan biarkan Serang menjadi simbol kegagalan. Mari kita hidupkan kembali harapan, kita wujudkan kota yang bersih, manusiawi, dan membanggakan. Tidak untuk kita saja—tapi untuk anak cucu kita nanti.
Serang bisa berubah, kalau kita mau.