Pagar Bambu di Laut Tangerang Tuai Polemik, FORWATU Banten Soroti Dugaan Kejanggalan Administrasi
LEBAK, TirtaNews — Keberadaan pagar bambu sepanjang 30,6 kilometer dengan tinggi 6 meter yang membentang di perairan Kabupaten Tangerang menjadi sorotan serius Forum Warga Bersatu Banten (FORWATU Banten). Pagar yang memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tersebut diduga bermasalah secara administratif.
Presidium FORWATU Banten, Arwan, S.Pd., M.Si., menilai proses penerbitan sertifikat tersebut menyisakan banyak kejanggalan. Menurutnya, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Banten menjadi dasar penerbitan HGB oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, ia menduga ada praktik yang tidak transparan dalam pembahasannya.
“Informasi yang saya dapatkan, pihak Pansus diduga menerima sejumlah anggaran sekitar 5.000 dolar AS per orang saat pembahasan Perda tersebut. Ketua Pansus kala itu adalah Ali Nurdin,” ungkap Arwan, Rabu, 29 Januari 2025.
Polemik ini semakin mencuat setelah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid mengonfirmasi bahwa pagar laut tersebut telah bersertifikat HGB dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Sertifikat HGB itu mencakup 234 bidang atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, 9 bidang milik perorangan, serta 17 bidang SHM.
Menurut Nusron, sertifikat HGB tersebut diterbitkan pada Agustus 2023 di Desa Kohod, yang masuk dalam zona permukiman sesuai Perda RTRW Banten 2023-2043.
Menanggapi hal tersebut, Arwan meminta aparat penegak hukum segera memeriksa pihak-pihak terkait, termasuk anggota Pansus yang terlibat dalam penyusunan Perda tersebut.
“Pemberian HGB hingga SHM di wilayah laut ini sangat berpotensi maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang. Pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” tegas Arwan.
Ia juga menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa laut adalah milik bersama yang harus dikelola secara adil dan terbuka untuk semua pihak.
“Ini tidak hanya soal administrasi, tetapi juga soal hak publik atas laut yang seharusnya tidak boleh dimiliki secara eksklusif oleh segelintir pihak,” tambahnya.
FORWATU Banten berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran agar praktik serupa tidak terulang, serta menuntut transparansi dalam pengelolaan ruang laut yang seharusnya menjadi hak bersama masyarakat. (Hen/Red)