Menuntut Transparansi dan Keadilan dalam Tata Kelola Maritim
Oleh: Ramzan & Fauziyah
Kasus pagar laut ilegal di pesisir Tangerang, Banten, bukan hanya persoalan teknis tata ruang, melainkan cerminan buruknya tata kelola kelautan di Indonesia. Keberadaan pagar laut yang menghalangi akses nelayan lokal menunjukkan bagaimana kepentingan segelintir elite korporasi dapat menguasai ruang-ruang publik, mengabaikan hak masyarakat pesisir, dan bahkan menabrak hukum yang berlaku.
Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia (HIMITEKINDO), melalui Konsolidasi Nasionalnya, telah mengangkat persoalan ini ke permukaan. Sikap kritis mahasiswa kelautan dalam membela hak masyarakat pesisir harus menjadi pengingat bagi pemerintah bahwa kedaulatan maritim bukan sekadar slogan, melainkan tanggung jawab yang harus diwujudkan dalam kebijakan dan tindakan nyata.
Pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, yang mengakui kurangnya pengawasan di wilayah pesisir, menambah daftar panjang ironi pengelolaan sumber daya laut di negeri ini. Di sisi lain, pengakuan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid bahwa SHGB di laut telah diterbitkan kepada perusahaan besar semakin memperjelas adanya ketimpangan dalam pengambilan keputusan lintas kementerian. Kontradiksi antara kedua menteri ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang bertanggung jawab?
Ketidaksesuaian antar-lembaga pemerintahan ini menunjukkan kelemahan sistemik dalam tata kelola maritim di Indonesia. Sebuah wilayah yang seharusnya menjadi sumber penghidupan nelayan justru berubah menjadi ladang bisnis korporasi. Ketiadaan transparansi dan lemahnya integrasi antarlembaga menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan sumber daya laut dan keadilan bagi masyarakat pesisir.
Dalam situasi ini, mahasiswa sebagai agent of change harus mengambil peran lebih aktif. HIMITEKINDO telah menunjukkan bagaimana konsolidasi dan advokasi dapat menjadi langkah awal untuk memperjuangkan keadilan maritim. Pernyataan sikap dan resolusi yang dihasilkan menjadi bukti bahwa suara mahasiswa masih relevan dalam menekan pemerintah agar berpihak pada kepentingan masyarakat kecil, bukan korporasi rakus.
Pemerintah harus segera bertindak. Ketidaktegasan dan ketidakkonsistenan dalam menyelesaikan masalah ini hanya akan semakin merusak kepercayaan rakyat terhadap negara. Jika pagar laut ilegal dibiarkan berdiri, maka kedaulatan maritim Indonesia tidak lebih dari sekadar jargon kosong.
Keadilan maritim adalah hak setiap warga negara. Di sanalah kedaulatan bangsa dipertaruhkan. HIMITEKINDO dan mahasiswa kelautan lainnya telah memulai langkah untuk memastikan bahwa kepentingan masyarakat pesisir tidak tenggelam oleh kekuasaan oligarki. Kini, giliran pemerintah untuk menjawab tantangan ini dengan tindakan konkret, bukan hanya retorika.
Jalesveva Jayamahe! Kedaulatan maritim harus menjadi prioritas, bukan pilihan. ##