Puisi “Susu dan Madu” Penyair Muda Papua Soroti Jurang Kekayaan Alam dan Realitas Hidup

0
Puisi “Susu dan Madu” Penyair Muda Papua Soroti Jurang Kekayaan Alam dan Realitas Hidup

Oplus_131072

Views: 20

JAYAPURA, TirtaNews — Dalam rangka Proklamasi Bangsa West Papua pada 1 Desember 2025 bertempat di Sentani Jayapura seorang mahasiswa angkatan 2024, Ros Mery Edowai, tampil dengan suara pelan namun tegas. Putri muda asal Deiyai Papua Tengah itu membacakan puisinya berjudul “Susu dan Madu yang Tak Pernah Tersaji: Tanah Papua, Tanah Papua.” Karya tersebut sontak mencuri perhatian karena menyuarakan kegelisahan generasi muda Papua terhadap tanah kelahirannya.

Puisi itu, menurut Ros Mery, lahir dari pengamatannya atas kehidupan sehari-hari masyarakat Papua—serta dari sosok kakaknya, seorang pelayan gereja yang kerap berbicara mengenai penindasan di tanah Papua. “Sedikit banyak saya terinspirasi dari dia,” kata Ros Mery, Senin, 1 Desember 2025.

Tema puisi anak-anak Papua umumnya berkisar pada alam, pendidikan, dan harapan bagi masa depan. Namun Ros Mery mengetengahkan nada yang lebih getir: tanya tentang damai yang tak selalu hadir, dan janji kemakmuran yang tak pernah benar-benar tersaji di meja makan masyarakat asli Papua.

Dalam bait-baitnya, ia menyinggung julukan Papua sebagai “tanah damai” sejak Injil masuk, sekaligus mempertanyakan apakah damai itu sungguh dirasakan masyarakat. “Di tanah yang subur seperti Kanaan,” tulisnya, “kami tidak pernah mencicipi susu dan madu.”

Kontras antara kekayaan alam dan kehidupan masyarakat menjadi benang merah puisinya. Ros Mery menulis tentang gunung-gunung penuh emas, tetapi kehidupan yang tetap perih; tentang hutan yang cukup memberi makan, tetapi meja makan yang sering kosong.

Puisi itu, bagi banyak mahasiswa yang hadir, terasa sebagai refleksi atas ironi panjang yang menyelimuti wilayah Papua: tanah yang kerap dipuji sebagai surga, namun kesejahteraan warganya masih jauh dari harapan.

Kritik sosial dalam karya Ros Mery bukan disampaikan dengan teriakan, melainkan lirih—namun justru di situlah kekuatannya. Ia menunjukkan bahwa generasi muda Papua mulai memilih bahasa sastra sebagai medium perlawanan dan pengungkapan batin.

Melalui puisinya, Ros Mery merangkum kegelisahan yang terus menggantung di udara Papua:
kekayaan alam melimpah, tetapi manisnya susu dan madu itu belum juga tiba di kehidupan banyak orang. (Jeri/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *