Otonomi Khusus Papua dalam Perspektif Hubungan Internasional

0
Otonomi Khusus Papua dalam Perspektif Hubungan Internasional

Oplus_131072

Views: 17

Oleh: Yulans FY Wenda, S.HI

Sekretaris DPD I KNPI Papua Pegunungan
Alumni Hubungan Internasional, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ)

Ringkasan opini ini adalah bentuk catatan reflektif Kritis terhadap ulang tahun Otsus papua yang mana perayaanya di meriakan dengan selebaran brosur penuh ucapan selamat. padahal implementasi dan esensi Otsus seharusnya di refleksikan kembali apakah otsus benar-benar terlaksana dan bermanfaat bagi OAP ataukah otsus hanya simbol kebijakan yang tidak menyentuh akar persoalan.

Di banyak negara, otonomi khusus adalah instrumen politik tingkat tinggi untuk merawat perdamaian, memperbaiki luka sejarah, dan memenuhi hak-hak kolektif suatu bangsa minoritas. Skotlandia di Inggris, Quebec di Kanada, Basque di Spanyol, hingga Bangsamoro di Filipina menunjukkan bahwa otonomi bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi mekanisme rekonsiliasi politik.

Indonesia menerapkan kerangka serupa untuk Papua melalui Otonomi Khusus 2001 yang direvisi pada 2021. Namun, dua dekade berjalan, muncul pertanyaan fundamental. Mengapa Otsus tidak mampu menciptakan stabilitas politik dan rekonsiliasi sebagaimana terjadi di negara-negara lain?

Sebagai alumni Hubungan Internasional USTJ, saya memandang bahwa kegagalan Otsus Papua bukan terletak pada konsepnya, melainkan karena Indonesia tidak menjalankan prinsip-prinsip dasar penyelesaian konflik modern. Otsus di Papua berhenti menjadi proyek pembangunan, padahal konflik Papua adalah persoalan identitas, sejarah, politik, dan legitimasi.

A. Akar Masalah yang Tidak Pernah Diakui

Dalam teori penyelesaian konflik internasional mulai dari John Burton, Johan Galtung, hingga Lederach penyelesaian konflik hanya mungkin tercapai jika negara mengakui akar konflik. Inggris mengakui sejarah penaklukan dan sektarian Irlandia Utara. Filipina mengakui ketidakadilan sejarah Bangsamoro. Spanyol mengakui trauma sejarah Basque.

Indonesia, sebaliknya, melihat Papua semata sebagai persoalan “ketertinggalan pembangunan”.

Padahal konflik Papua berakar pada:

  1. Masalah legitimasi integrasi,
  2. Identitas politik dan budaya yang berbeda,
  3. Krisis kepercayaan akibat pelanggaran HAM,
  4. Ketimpangan struktur kekuasaan antara Jakarta dan Papua.

Dari perspektif antropologi politik, orang Papua tidak menuntut infrastruktur; mereka menuntut pengakuan. Ketika identitas politik tidak dihormati, kebijakan apa pun akan gagal menyentuh jantung atau akar masalah.

B. Perbandingan Global, Apa yang Indonesia Abaikan

1. Bangsamoro (Filipina)
Bangsamoro adalah model modern otonomi yang berhasil karena:
□Ada negosiasi setara,
□Ada mediator internasional,
□Ada demilitarisasi bertahap,
□Ada transfer kekuasaan dan Kewengan bukan sekadar transferan dana.

Di Papua, semua unsur itu tidak ada.

2. Basque & Catalonia (Spanyol)

Spanyol memberikan:
□Kewenangan fiskal penuh;
□Pendidikan, budaya, dan bahasa dikelola lokal;
□Polisi daerah (Ertzaintza).

Papua tidak memiliki kewenangan fiskal, tidak memiliki kendali atas keamanan, dan sumber daya alam tetap dikendalikan pusat.

3. Quebec (Kanada)

Quebec diakui sebagai distinct society.
Di Papua, tidak ada pengakuan politik serupa.

4. Irlandia Utara (Good Friday Agreement)

Keberhasilannya terletak pada:
◇ Power sharing,
◇ Rekonsiliasi sejarah,
◇ Jaminan HAM,
◇ Monitoring internasional.

Papua tidak memiliki pola bagi kekuasaan (power sharing) apa pun.

Dari perspektif hubungan internasional, jelas bahwa Papua tidak diperlakukan sebagai subjek politik hanya objek administrasi dan militerisasi.

C. Mengapa Otonomi Khusus Papua Tidak Berfungsi?

1. Tidak ada proses perundingan politik

Otsus lahir sepihak, bukan melalui dialog dengan aktor-aktor politik Papua. Dalam teori kontrak sosial modern, kebijakan tanpa consent pada akar masalah tidak memiliki legitimasi.

2. Pendekatan keamanan tetap menjadi tulang punggung

Selama dua dekade Otsus, operasi keamanan justru semakin intensif atau Militerisasi tetap menjadi tulang punggung kebijakan.

Padahal, konflik etnopolitik menuntut human security, bukan state security. Artinya dibanyak negara yang berlakukab Otonomi khsus, tidak ada otonomi yang berjalan di bawah operasi keamanan.

3. Transfer anggaran tanpa transfer kekuasaan

Dari perspektif administrasi negara, Otsus Papua lebih mirip dekonsetrasi, bukan desentralisasi. Uang mengalir, tetapi kewenangan inti tetap di kendalikan Jakarta.

4. Tidak ada pengakuan identitas dan sejarah

Dalam antropologi politik, identitas adalah fondasi legitimasi. Quebec, Basque, dan Skotlandia memperoleh pengakuan identitas politik. Papua tetap dipaksakan pada identitas nasional tunggal. Yang secara halus dan terang-terangan menghilangan identitas kebudayaan OAP yang adalah warisan leluhur.

5. DOB sebagai mekanisme kontrol, bukan devolusi

Pemekaran bukan untuk memperluas self-government, tetapi memperluas:
Struktur birokrasi,
Struktur keamanan,
Struktur kontrol politik.

Ini bertentangan dengan prinsip otonomi asimetris.karena DOB hadir bukan untuk memperkuat ekonomi, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan dan kesejaterahan OAP tapi memperkuat kontrol kedali negara atas wilayah yang menjadi basis masyarakat adat, contohnya warga sipil yang dibunuh di kampunya di intan Jaya.

D. Perspektif Keamanan,Militerisasi Membunuh Esensi Otonomi

Dalam kerangka Copenhagen School, keamanan manusia (human security) adalah prasyarat otonomi. Tetapi Papua masih ditempatkan dalam logika:
Ancaman;
Lebelisasi;
Diskriminasi Rasial
Operasi;
Penegakan NKRI melalui pendekatan koersif militerisasi.

Di negara-negara lain, demilitarisasi adalah syarat utama otonomi. Di Papua, justru sebaliknya.

E. Perspektif Sosial dan Antropologis*

Masyarakat Papua adalah masyarakat komunal. Di dalam budaya kami, kewenangan adalah sesuatu yang dinegosiasikan, bukan dipaksakan.

Otsus gagal karena tidak menghormati:
Sistem kekerabatan;
Otoritas adat;
Musyawarah Mufakat
Narasi sejarah yang hidup dalam memori kolektif;

Negara membangun fisik, tetapi melupakan Akar masalah masyarakat Papua yang pernah direkomndasi oleh LIPI.

F. Pernyataan Penulis*

Sebagai alumni Hubungan Internasional USTJ, saya menegaskan bahwa, Otonomi Khusus Papua hanya akan menjadi proyek administratif, eksploratif, dan militerisasi. jika negara tidak mengubah pendekatan keamanan menjadi pengakuan politik. Maka semua bentuk kebijakan negara atas papua akan menjadi blunder, karena prinsipnya Papua membutuhkan otonomi yang memberi kuasa, bukan sekadar dana. Papua juga membutuhkan rekonsiliasi, bukan security kontrol.

Negara-negara lain berhasil karena mereka berani menghadapi sejarah. Indonesia harus mulai belajar dari negara-negara tersebut.

G. Penutup Saatnya Otonomi Berbasis Pengakuan, Bukan Kecurigaan*

Studi Hubungan Internasional dan Comparative Politics menunjukkan bahwa konflik jangka panjang hanya dapat diselesaikan melalui:

a. Dialog politik setara;
b. Demilitarisasi bertahap;
c. Pengakuan atas sejarah dan identitas;
d. Transfer kekuasaan/Kewengan nyata;
e. Pemantauan independen.

Selama Otonomi Khusus Papua tidak bergerak ke arah ini, ia akan terus menjadi: Kebijakan yang gagal; Instrumen kontrol Wilayah.

dan bukti bagi dunia internasional bahwa Indonesia tidak siap menyelesaikan konflik Papua secara adil, manusiawi dan bermartabat.

Negara-negara seperti Filipina, Kanada, Inggris, dan Spanyol berani mengambil langkah besar untuk perdamaian. Maka diaharpkan Indonesia juga harus berani.

Karena perdamaian tidak lahir dari kecurigaan, ia lahir dari pengakuan, penghormatan, dan kebesaran politik. #

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *