Ketua AIPI Sumsel Sindir Gubernur: Krisis Solar Disebabkan Salah Kelola Pemerintah

Oplus_131072
PALEMBANG, TirtaNews — Kritik tajam dilontarkan Ketua AIPI Sumatera Selatan yang juga pengamat kebijakan politik dan sosial, Dr. (c) Ade Indra Chaniago, M.Si, terhadap kebijakan pembatasan pengisian solar yang diterapkan Pemerintah Provinsi Sumsel. Ia menilai kebijakan tersebut sebagai bukti gagalnya pemerintah dalam mengelola kebutuhan dasar masyarakat.
Ade menyebut pembatasan waktu pengisian solar melalui surat edaran Gubernur tidak hanya gagal menjawab persoalan krisis BBM bersubsidi, tetapi juga memperlihatkan bahwa pemerintah kehilangan arah dalam merumuskan kebijakan energi.
“Ini bukan sekadar persoalan antrean panjang. Ini sinyal bahwa pemerintah tidak siap, tidak teliti, dan tidak memahami kebutuhan rakyatnya sendiri. Krisis solar terjadi bukan karena rakyat, tapi karena pemerintah salah kelola,” ujar Ade dalam keterangan tertulis, Sabtu, 22 November 2025.
Ia menilai kebijakan yang berdampak luas semestinya disusun secara matang dan tidak diambil secara tergesa-gesa. Menurutnya, pembatasan tersebut menunjukkan minimnya sensitivitas sosial pemerintah terhadap kelompok masyarakat yang paling terdampak.
“Pemerintah seolah membuat aturan dari balik meja, tanpa melihat bagaimana rakyat bekerja, bagaimana sopir mencari nafkah, dan bagaimana pelaku usaha bergantung pada solar,” kata Ade.
Di lapangan, kata dia, dampak kebijakan sudah terlihat jelas. Antrean panjang di SPBU, keterlambatan distribusi logistik, hingga kemacetan akibat penumpukan kendaraan menjadi indikator bahwa kebijakan tersebut tidak dihitung secara komprehensif.
“Ketika rakyat harus mengantre berjam-jam hanya untuk mendapatkan solar, itu bukan kesalahan mereka. Itu kesalahan pemerintah dalam merencanakan dan mengawasi,” ucapnya.
Ade juga menilai pemerintah provinsi terkesan menghindari akar persoalan dan justru melempar beban kepada masyarakat. Ia menegaskan bahwa jika kuota solar tidak mencukupi atau distribusi bermasalah, pemerintah semestinya memperbaiki sistem alih-alih mempersulit akses masyarakat.
“Kalau kuota tidak cukup, benahi. Kalau distribusi bocor, tindak. Kalau ada penyimpangan, awasi. Jangan malah membatasi rakyat yang justru paling membutuhkan,” katanya.
Ia menilai kebijakan pembatasan tersebut tidak hanya salah sasaran, tetapi juga menunjukkan lemahnya kepemimpinan dalam membaca persoalan publik.
“Pemerintah tidak boleh hanya tampil mengumumkan kebijakan. Pemerintah harus memastikan kebijakan itu adil, efektif, dan berpihak pada rakyat. Kalau tidak, itu hanya formalitas kekuasaan,” ujar Ade.
Dalam kritik yang lebih tegas, Ade menilai Gubernur Sumsel perlu bertanggung jawab atas dampak kebijakan yang dirasakan masyarakat kecil.
“Ketika kebijakan membuat rakyat semakin terjepit, pemimpin harus berani mengoreksi diri. Jangan sampai pemerintah lebih sibuk membuat aturan daripada menyelesaikan masalah,” katanya.
Ade mendesak Pemerintah Provinsi Sumsel segera mencabut atau merevisi kebijakan pembatasan solar, sekaligus melakukan audit tata kelola BBM subsidi di seluruh wilayah.
“Sumsel membutuhkan kepemimpinan yang solutif, bukan administratif. Rakyat tidak boleh menjadi korban salah kelola pemerintah,” ujarnya. (BR/Red)
