MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah Mulai 2029

0

Format Lima Kotak Ditinggalkan, Fokus Demokrasi Daerah Diutamakan

MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah Mulai 2029
Views: 16

JAKARTA, TirtaNews – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan memutuskan pemisahan penyelenggaraan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai tahun 2029. Keputusan ini menandai berakhirnya skema pemilu serentak lima kotak yang digunakan pada 2019 dan 2024.

Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis, 26 Juni 2025. Ke depan, pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan DPD akan dilaksanakan secara terpisah dari pemilihan gubernur, bupati, wali kota, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa pemisahan pemilu ini bertujuan memperkuat perhatian terhadap pembangunan daerah yang selama ini tertutup oleh dominasi isu nasional. “Masalah pembangunan daerah kerap tersisih dalam pemilu serentak karena terseret arus isu nasional,” ujar Saldi.

MK juga menilai rakyat memerlukan waktu jeda yang cukup untuk mengevaluasi hasil kerja pemimpin nasional sebelum kembali memberikan suara dalam pemilu lokal. Pemilu nasional akan digelar lebih dahulu, kemudian disusul pemilu daerah dalam rentang dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan presiden dan anggota legislatif pusat.

MK menilai sejumlah manfaat akan muncul dari sistem pemilu terpisah ini. Di antaranya adalah meningkatnya fokus pemilih karena tidak lagi harus mencoblos lima surat suara sekaligus yang dinilai kompleks dan membingungkan.

Beban kerja penyelenggara pemilu pun diperkirakan akan lebih terkendali. Pada Pemilu 2019 dan 2024, banyak petugas yang kelelahan hingga jatuh sakit akibat padatnya beban kerja dalam satu hari pemungutan suara.

Selain itu, pemisahan ini memberi ruang bagi partai politik untuk menyiapkan kader dengan lebih selektif. “Tanpa harus terburu-buru dalam pendekatan instan dan transaksional, partai bisa lebih fokus pada kualitas,” ujar Saldi.

MK juga mencatat bahwa pemilih tidak lagi harus mengambil keputusan dalam tekanan waktu. Kedaulatan rakyat dinilai lebih bermakna karena proses pertimbangan menjadi lebih matang.

Namun, MK juga mengakui sejumlah tantangan yang mungkin muncul. Salah satunya adalah meningkatnya intensitas politik akibat pemilu besar yang digelar dua kali dalam lima tahun. Potensi kelelahan politik warga juga tak dapat dihindari.

“Dengan dua siklus pemilu besar, mobilisasi politik akan terjadi lebih sering, dan itu bisa memicu kejenuhan publik,” kata Saldi.

Dari sisi teknis dan logistik, pemisahan ini tentu berdampak pada meningkatnya anggaran negara. Biaya logistik, keamanan, kampanye, dan pelatihan penyelenggara akan bertambah.

MK juga menyoroti perlunya rekayasa konstitusional untuk mengatur masa transisi. Penentuan masa jabatan kepala daerah dan DPRD hasil Pemilu 2024 menjadi tanggung jawab pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah. Tanpa aturan transisi yang tepat, bisa terjadi kekosongan kekuasaan di daerah.

MK mendorong DPR untuk segera menyiapkan peraturan pelaksana guna mengantisipasi kekosongan hukum. “Pemisahan ini hanya dapat terlaksana dengan baik apabila ada norma hukum peralihan yang mengatur masa jabatan hasil pemilu 2024 dan transisi ke sistem baru,” ujar Saldi.

Dengan putusan ini, Indonesia akan menghadapi perubahan besar dalam sistem pemilu nasional. Format baru ini diharapkan membawa demokrasi ke arah yang lebih substansial, baik di tingkat pusat maupun daerah. Namun, keberhasilan sistem ini tetap bergantung pada kesiapan semua pemangku kepentingan dalam menata ulang arsitektur pemilu ke depan. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *