Skandal Website Desa: Indikasi Korupsi dan Gratifikasi di Balik Proyek Digitalisasi?

0
Skandal Website Desa: Indikasi Korupsi dan Gratifikasi di Balik Proyek Digitalisasi?

Oplus_131072

Views: 22

SERANG, TirtaNews – Pernyataan Direktur PT Wahana Semesta Multimedia Banten (WSMB), Mashudi, yang mengklaim sebagai inisiator program website desa di Kabupaten Serang justru semakin memperjelas adanya dugaan pengkondisian proyek yang merugikan keuangan desa. Alih-alih menjadi upaya digitalisasi yang transparan, proyek ini justru sarat indikasi gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang.

Dari hasil pertemuan Ketua Format Banten Saipul Arifin dengan pihak Manajemen PT WSMB, Saipul mengatakan Mashudi selaku pimpinan perusahaan mengakui bahwa PT WSMB sendiri yang meminta DPMD Kabupaten Serang untuk membuat penawaran kepada desa-desa. Ini memperlihatkan adanya intervensi langsung dari pihak swasta dalam kebijakan pemerintahan desa, yang seharusnya dilakukan melalui proses lelang terbuka dan kompetitif. Fakta ini semakin memperkuat dugaan bahwa inisiasi proyek ini sejak awal telah dikondisikan untuk menguntungkan pihak tertentu.

Selain itu, pernyataan Mashudi bahwa website desa ini mencakup layanan administrasi surat-menyurat dan database kependudukan justru menimbulkan kekhawatiran baru. Ia sendiri mengakui bahwa sistem pengelolaan data kependudukan tidak mendapat izin dari Kementerian Dalam Negeri. Lalu, mengapa proyek ini tetap dipaksakan tanpa kepastian hukum? Apakah ini hanya akal-akalan untuk mengalihkan perhatian dari dugaan praktik korupsi yang terjadi?

Kata Saipul, terkait biaya pembuatan website yang mencapai Rp 97 juta per desa, Mashudi berusaha membantah adanya Mark-up, namun faktanya harga tersebut jauh di atas standar biaya pembuatan website yang wajar. Bahkan, ada indikasi bahwa desa-desa “dipaksa” untuk mengikuti program ini melalui surat edaran dari DPMD, yang sejatinya bertentangan dengan prinsip otonomi desa dalam mengelola anggarannya sendiri, beber Saipul.

“Dugaan gratifikasi juga semakin kuat dengan adanya skema pembayaran yang terbagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, desa harus membayar Rp 37 juta, namun website yang dijanjikan belum bisa diakses sepenuhnya sebelum pelunasan tahap kedua sebesar Rp 55 juta. Ini semakin membuktikan bahwa proyek ini bukan hanya sarat kejanggalan, tetapi juga cenderung memanfaatkan anggaran desa dengan cara-cara yang tidak transparan,” ungkap Saipul.

Dalam pembelaannya, Mashudi dan rekannya, Delpion, menyatakan bahwa tidak ada cashback atau aliran dana ke pihak DPMD. Namun, pernyataan mereka justru bertentangan dengan kenyataan di lapangan, di mana desa-desa diarahkan untuk menggunakan jasa PT WSMB tanpa pilihan lain. Jika tidak ada gratifikasi atau kepentingan tertentu, mengapa DPMD begitu aktif dalam mengarahkan desa-desa untuk menggunakan jasa PT WSMB?, sambung Saipul.

Fakta lain yang terungkap adalah tidak semua desa mendapatkan manfaat dari program ini. Sejumlah kepala desa melaporkan bahwa mereka kesulitan mengakses layanan yang dijanjikan, dan bahkan ada yang memilih untuk membuat website sendiri dengan biaya yang jauh lebih rendah. Hal ini membuktikan bahwa program yang diklaim “untuk kemajuan desa” ini justru tidak efektif dan lebih menguntungkan pihak tertentu.

Ditegaskan Saipul, dengan semakin banyaknya indikasi pelanggaran dalam proyek ini, sudah sepatutnya KPK dan aparat penegak hukum turun tangan untuk mengusut tuntas kasus ini. Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri, juga harus segera mengevaluasi kebijakan ini agar tidak menjadi celah bagi praktik korupsi yang merugikan desa-desa di Kabupaten Serang.

“Jika benar proyek ini murni untuk kemajuan desa, mengapa harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak transparan dan penuh tekanan? Ataukah ini hanya proyek “bancakan” yang dikemas dengan embel-embel digitalisasi? Masyarakat harus tahu kebenarannya,” tandas Saipul. (Az/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *