Negara Dilarang Berbisnis dengan Rakyatnya: Kado Tahun Baru yang Membebani

Oleh : Ferdansyah (Presma Untirta)
Penghujung tahun sering menjadi momen refleksi, namun kali ini terasa berbeda. Pemerintah tampaknya memberikan “kado” berupa kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Angka yang terlihat kecil, namun dampaknya besar bagi masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah. Kebijakan ini lahir dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang secara bertahap menaikkan tarif PPN sejak April 2022 hingga mencapai 12% pada Januari 2025.
Kenaikan ini dipromosikan dengan dalih memperkuat kemandirian APBN dan membiayai program-program pemerintah, termasuk program makan siang gratis bagi siswa. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah kebijakan ini benar-benar bertujuan untuk mensejahterakan rakyat?
Dampak pada Masyarakat
Bagi kelas menengah dan bawah, kebijakan ini menambah beban hidup yang sudah berat. Biaya kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan terus meroket, sementara daya beli masyarakat melemah. Di tengah kesulitan ekonomi pasca-pandemi, kenaikan PPN justru semakin mempersempit akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar yang merupakan hak fundamental mereka.
Selain itu, kenaikan ini mempertegas ketimpangan ekonomi. Sementara masyarakat kecil harus berhemat lebih banyak, para penguasa dan oligarki yang menguasai sebagian besar perekonomian tampaknya tetap nyaman dengan keuntungan mereka. Apakah ini yang dimaksud dengan pemerataan kesejahteraan?
Negara atau Perusahaan?
Kritik utama terhadap kebijakan ini adalah pendekatan negara yang lebih mirip perusahaan. Seharusnya, negara hadir untuk melayani rakyat, bukan menjadikannya sebagai objek keuntungan. Kebijakan yang membebani masyarakat kecil tanpa memberikan solusi konkret terhadap persoalan mendasar—seperti lapangan kerja, akses kesehatan, dan pendidikan—menunjukkan ketidakpahaman atas tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya.
Dalih inflasi atau kebutuhan anggaran tidak bisa menjadi alasan pembenar. Negara seharusnya mencari solusi yang tidak membebani rakyat, seperti menekan kebocoran anggaran, meningkatkan efisiensi birokrasi, atau menekan korupsi yang masih menjadi momok dalam pengelolaan keuangan negara.
Aksi dan Harapan
Gelombang penolakan sudah mulai muncul, baik dari mahasiswa, aktivis, hingga masyarakat umum. Mereka menuntut kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kepentingan elite. Penolakan ini bukan sekadar kritik, tetapi panggilan bagi pemerintah untuk mengingat tugas utamanya: melayani rakyat, bukan menjadikan mereka “pasar” yang terus dimanfaatkan.
Pada akhirnya, kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara. Jika kebijakan ini tetap diberlakukan, maka rakyat berhak mempertanyakan: untuk siapa sebenarnya negara ini bekerja? Apakah untuk kita, atau hanya untuk segelintir orang yang menikmati kekuasaan?
Refleksi untuk Pemerintah
Tahun baru seharusnya menjadi awal yang membawa harapan, bukan kekecewaan. Pemerintah harus menimbang ulang kebijakan ini dan mendengarkan suara rakyat. Jika negara benar-benar berkomitmen untuk kesejahteraan, maka inilah saatnya membuktikan dengan tindakan nyata, bukan sekadar janji kosong. Jangan biarkan rakyat merasa bahwa negara lebih sibuk berbisnis daripada mengurus mereka. (*)