PBI Banten Dorong Kebaya Jadi Identitas Perempuan Banten: Tradisi yang Hidup, Bukan Sekadar Pakaian

SERANG, TirtaNews – Dalam peringatan Hari Kebaya Nasional, Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) Provinsi Banten menggelar acara budaya di Pendopo Lama, Kota Serang. Acara ini menjadi ruang pernyataan bahwa kebaya bukan sekadar busana warisan, melainkan identitas budaya yang hidup, khususnya bagi perempuan Banten.
Ketua PBI Banten, Ina Suhud, menegaskan pentingnya mengembalikan kebaya sebagai bagian dari keseharian, bukan hanya dikenakan saat acara adat atau seremoni. “Kebaya mencerminkan keanggunan, kekuatan, dan kecerdasan perempuan. Ia adalah simbol nilai-nilai luhur yang diwariskan lintas generasi,” ujar Ina.
Banten sendiri memiliki sejarah panjang dalam tradisi berpakaian. Kebaya Panjang khas Banten, sering disebut juga kebaya Betawi-Banten, merupakan bagian dari identitas perempuan pesisir, khususnya di wilayah Serang dan sekitarnya. Modelnya panjang, sederhana, dan cenderung tertutup, mencerminkan nilai kesopanan dan religiusitas yang kuat di masyarakat Banten.
“Sayangnya, kebaya Banten kini mulai jarang terlihat, kecuali dalam peringatan budaya atau upacara adat. Kami ingin menghidupkannya kembali, terutama di kalangan generasi muda,” tambah Ina.
Dalam acara yang diisi dengan tarian nusantara oleh anak-anak dan ibu-ibu pengurus PBI Banten, seluruh peserta mengenakan berbagai ragam kebaya, termasuk kebaya Banten. Mereka ingin menunjukkan bahwa kebaya bisa tampil modern tanpa kehilangan makna budayanya.
Gerakan ini juga sejalan dengan upaya Indonesia mendaftarkan kebaya sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia ke UNESCO, bersama negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Di Indonesia sendiri, kebaya memiliki banyak varian lokal dari kebaya encim, kebaya kutu baru, kebaya Bali, hingga kebaya Panjang khas Banten masing-masing dengan filosofi dan karakteristik kulturalnya.
“Di Banten, kebaya bukan hanya soal estetika, tapi juga bagian dari konstruksi sosial perempuan. Ia merepresentasikan cara perempuan membawa martabat, spiritualitas, dan relasi dengan komunitasnya,” kata Tinawati, tokoh perempuan Banten yang turut mendukung kegiatan ini.
Meski baru berdiri sembilan bulan, PBI Banten telah aktif memperkenalkan kembali kebaya ke ruang-ruang publik, termasuk melalui media sosial. “Kami ingin kebaya hadir di sekolah, kantor, pasar, dan ruang keluarga. Tidak perlu menunggu acara resmi untuk mengenakannya,” jelas Ina.
PBI Banten percaya, perjuangan budaya tidak harus dimulai dari panggung besar. Justru dari langkah-langkah kecil dan sederhana—seperti mengenakan kebaya ke tempat kerja atau mengunggah foto kebaya ke media sosial akan lahir kesadaran kolektif untuk mencintai identitas diri dan budayanya. (Az/Red)