Ketangguhan Desa Jadi Kunci Hadapi Bencana dan Perubahan Iklim

oplus_2
TANGSEL, TirtaNews – Peningkatan ancaman bencana akibat perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali menjadikan komunikasi risiko dan ketangguhan masyarakat desa sebagai pilar penting dalam menghadapi bencana. Hal itu ditegaskan Dr. Muhamad Hidayat, M.I.Kom., pakar komunikasi bencana, dalam konferensi pers yang digelar di Tangerang Selatan, Jumat, (23/05) .
Hidayat yang juga dikenal sebagai dosen, peneliti, dan relawan kemanusiaan menyebutkan bahwa dari 72 ribu desa di Indonesia, sekitar 53 ribu di antaranya tergolong rawan bencana. Ancaman paling dominan berasal dari gempa, banjir dan longsor, terutama di kawasan padat penduduk seperti Jawa Barat.
“Bencana bersifat lintas wilayah dan bisa datang sewaktu-waktu. Kita tidak bisa hanya mengandalkan petugas, TNI, atau Polri. Yang pertama kali menolong biasanya adalah warga sekitar. Maka, masyarakat harus mandiri,” ujar Hidayat.
Menurutnya, pembangunan desa tangguh bencana harus melibatkan pendekatan kolaboratif. Keterlibatan sekolah dan institusi pendidikan sangat krusial. “Sebanyak 75 persen sekolah, dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, berpotensi menjadi pusat edukasi kebencanaan,” ungkapnya.
Hidayat juga menyoroti lemahnya komunikasi risiko di tingkat akar rumput. Ia menekankan pentingnya penggunaan bahasa lokal dan pendekatan budaya agar pesan mitigasi bisa dipahami dengan mudah oleh masyarakat desa. “Kita belum maksimal dalam menyampaikan informasi risiko. Diseminasi masih lemah, serta kesadaran terhadap perubahan iklim sangat rendah,” katanya.
Lebih lanjut Hidayat memaparkan pentingnya pendekatan pentahelix yakni sinergi antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media, untuk menciptakan sistem yang tangguh dan berkelanjutan.
Ia juga mengingatkan nilai penting kearifan lokal. Seperti masyarakat Padang, Baduy dan Simeulue yang mampu selamat dari tsunami karena pemahaman terhadap tanda-tanda alam. “Komunikasi spiritual dan pengetahuan tradisional terbukti efektif. Bahkan bisa mengurangi risiko kerugian hingga 5 persen,” katanya.
Dari sisi kebijakan, Hidayat mengutip Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 yang menjamin hak masyarakat atas informasi dini bencana. Ia mendorong BPBD di tingkat daerah agar memperkuat sistem peringatan dini, tidak hanya secara teknis, tetapi juga sosial.
Di akhir Hidayat menegaskan bahwa ketangguhan adalah hasil dari proses panjang dan sistemik. “Sekolah pengurangan risiko bencana adalah jalan. Ketika wilayah itu mandiri, maka risiko bisa ditekan. Itu yang disebut berhasil,” ujarnya.
Dengan semakin meningkatnya intensitas bencana akibat perubahan iklim dan laju urbanisasi, pendekatan berbasis pengetahuan lokal, budaya, dan teknologi dinilai menjadi jalan strategis menuju Indonesia yang tangguh menghadapi bencana. (Az/Red)