AMAKO Kembali Desak Kejati Banten Usut Tuntas Dugaan Korupsi Dana Hibah 2018-2020
SERANG, TirtaNews – Aliansi Mahasiswa dan Aktivis Anti Korupsi (AMAKO) kembali menggelar aksi unjuk rasa di depan Kejaksaan Tinggi Banten, menuntut penyelesaian kasus dugaan korupsi dana hibah untuk pondok pesantren yang terjadi pada 2018-2020. Faisal Rizal, koordinator lapangan aksi tersebut, mendesak Kejati Banten untuk segera memeriksa dan mengadili aktor intelektual yang diduga terlibat dalam kasus ini.
Faisal meminta agar Kejati Banten memulai penyelidikan tahap kedua dalam kasus korupsi dana hibah yang sebelumnya telah diputuskan di Mahkamah Agung dengan nomor 5656 K/Pid.Sus/2020, yang memperkuat putusan pengadilan tingkat pertama. Dalam persidangan, sejumlah fakta menunjukkan bahwa Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), serta pihak terkait lainnya harus bertanggung jawab atas kasus ini. “Ketua TAPD saat itu, yang kini menjabat sebagai Pj. Gubernur Banten, Al Muktabar, diduga memiliki peran yang perlu diusut lebih lanjut,” ujar Faisal.
Dalam orasinya, Faisal juga menyampaikan kritik terhadap Kejati Banten yang dinilai lamban merespons laporan masyarakat terkait dugaan korupsi. “Kami berharap Bapak Kajati Banten segera menindaklanjuti laporan kami sesuai prosedur yang ada. Evaluasi perlu dilakukan terhadap pejabat Aspidsus dan Asintel yang dianggap kurang berkomitmen dalam pemberantasan korupsi,” tegasnya.
Tak hanya kasus hibah, Faisal juga menyoroti adanya pelanggaran terkait pengangkatan pejabat sementara (Plt) kepala dinas di Provinsi Banten yang diduga tidak sesuai dengan Surat Edaran Badan Kepegawaian Negara, yang membatasi masa jabatan Plt hanya enam bulan. “Laporan kami terkait dugaan pelanggaran ini tampaknya masih diabaikan oleh Kejaksaan Tinggi Banten. Hingga kini, kami sebagai pelapor tidak pernah mendapat panggilan atau penjelasan,” katanya.
Di lokasi yang sama, orator aksi lainnya, Y Sumaryono, yang juga advokat, mengkritik Kejati Banten karena belum membuka penyelidikan lanjutan atas kasus hibah pesantren. Ia menekankan bahwa fakta-fakta dalam putusan perkara nomor 21/Pid.sus-TPK/2021/PN.Srg serta putusan Pengadilan Tinggi Banten nomor 1/Pid.Sus-TPK/2022/PT.BTN menunjukkan adanya kejanggalan yang perlu diusut lebih lanjut.
“Fakta hukum dalam kasus ini menuntut Kejati Banten untuk bertindak tegas. Kita berharap Kejati Banten mengedepankan prinsip hukum yang tajam ke atas dan humanis ke bawah,” kata Sumaryono.
Sumaryono juga mengungkapkan adanya 172 pesantren yang tidak tercatat dalam data Education Management Information System (EMIS) namun tetap menerima dana hibah. Hal ini, menurutnya, menjadi tanggung jawab Pemprov Banten, termasuk TAPD, BPKAD, dan Biro Pemkesra. Ia mengajak ahli hukum dan audit independen untuk menelaah kasus ini guna memastikan akuntabilitas para pihak yang bertanggung jawab, bukan hanya menjadikan pesantren sebagai pihak yang disalahkan.
“Kami mendesak Kejati Banten segera membuka jilid kedua penyelidikan kasus korupsi ini agar nama baik pesantren dan Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) dapat dipulihkan. Jika tuntutan kami diabaikan, kami siap melakukan aksi massa dan eksaminasi publik,” tandas Sumaryono.
Aksi tersebut berlangsung panas, dengan massa yang mendesak untuk berdialog langsung dengan pihak Kejati Banten. Faisal menantang Kajati Banten untuk melakukan audiensi terbuka di alun-alun atau di lokasi ikonik seperti Patung Kuda di Jakarta, guna memaparkan fakta-fakta dan bukti laporan yang sudah mereka ajukan.
Pihak Kejati Banten sendiri belum memberikan tanggapan resmi terkait tuntutan yang disampaikan oleh AMAKO. (Risdu/Red)