Runtuhnya Kelas Menengah, Bom Waktu bagi Ekonomi Indonesia
JAKARTA, TirtaNews – Penurunan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia telah menjadi perhatian utama, baik di dalam negeri maupun internasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa antara 2019 hingga 2024, jumlah penduduk kelas menengah turun drastis sebesar 9,48 juta orang, atau sekitar 16,5%, dari 57,33 juta jiwa pada 2019 menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024. Penurunan ini, yang dimulai sejak pandemi Covid-19, menjadi “alarm peringatan” bagi perekonomian nasional.
Menurut BPS, kelas menengah didefinisikan sebagai individu dengan pengeluaran bulanan antara 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan, yakni sekitar Rp2.040.262 hingga Rp9.909.844 per kapita. Namun, pengeluaran rata-rata kelas menengah lebih mendekati batas bawah dari kisaran tersebut, yakni Rp2.056.494 per kapita per bulan. Hal ini mengindikasikan bahwa kelas menengah Indonesia sangat rentan mengalami penurunan ke kelas ekonomi yang lebih rendah dan sulit naik ke kelas ekonomi atas.
Media internasional seperti Channel News Asia (CNA) juga menyoroti penurunan kelas menengah di Indonesia sebagai isu yang berpotensi memicu masalah ekonomi serius, termasuk peningkatan kemiskinan. Kelas menengah, yang mencakup 66,6% dari populasi Indonesia dan menyumbang 81,49% dari total konsumsi masyarakat, memiliki peran krusial dalam menjaga stabilitas ekonomi. Oleh karenanya, penurunan mereka memiliki dampak langsung pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Perubahan Pola Pengeluaran dan Penyebab Penurunan
Selain pandemi Covid-19, perubahan signifikan dalam pola pengeluaran juga turut memperburuk kondisi kelas menengah. BPS mencatat bahwa alokasi untuk makanan, minuman, dan perumahan mengalami penurunan, sementara pengeluaran untuk hiburan dan keperluan pesta meningkat. Sebagai contoh, pada tahun 2024, proporsi pengeluaran untuk makanan dan minuman turun menjadi 41,67% dari 45,53% pada tahun 2014. Sebaliknya, pengeluaran untuk hiburan meningkat dari 0,22% menjadi 0,38%.
Mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, menambahkan bahwa kebiasaan konsumsi air galon dan air botol turut mempengaruhi daya beli kelas menengah. Ia menjelaskan bahwa kebiasaan ini menggerus pendapatan masyarakat secara signifikan, berbeda dengan negara maju di mana air minum disediakan secara gratis atau lebih murah melalui fasilitas publik.
Pendapat Pelaku Ekonomi dan Pengamat
Penurunan kelas menengah ini juga menjadi sorotan kalangan pengusaha. Rusmin Abdul Gani, Ketua Himpunan Pengusaha Tolaki Indonesia (HIPTI), melihat hal ini sebagai indikasi melemahnya daya beli masyarakat. Menurutnya, meski pandemi Covid-19 menjadi faktor utama, kurangnya kebijakan yang secara khusus menyasar penguatan daya beli kelas menengah juga berperan. Ia mendorong pemerintah untuk lebih agresif dalam mengimplementasikan kebijakan yang meningkatkan pendapatan di sektor riil dan UMKM, yang merupakan pilar utama ekonomi nasional.
Sementara itu, Kevin Abdullah Alrasyid, Ketua Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan (Ekowira) DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulawesi Tenggara, berpendapat bahwa penurunan kelas menengah juga terkait dengan kurangnya edukasi finansial dan keterampilan kewirausahaan. Menurut Kevin, peningkatan literasi keuangan dan pengembangan ekosistem kewirausahaan yang lebih inklusif sangat penting untuk menstabilkan dan memperkuat kelas menengah, terutama di kalangan generasi muda.
“Generasi muda harus dibekali keterampilan kewirausahaan dan literasi keuangan agar mereka tidak hanya bergantung pada pekerjaan formal tetapi juga mampu menciptakan peluang ekonomi baru. Ini penting untuk memperkuat kelas menengah dan menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang,” ujar Kevin.
Kevin juga menyarankan agar pemerintah bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk memperluas program pelatihan kewirausahaan yang dapat diakses oleh masyarakat luas, terutama di daerah-daerah yang minim akses pendidikan ekonomi. Dengan demikian, penguatan kelas menengah akan lebih merata dan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. (*)